
Manusia dan persimpangan adalah dua hal yang serupa dengan teka-teki. Tidak ada yang pernah tau kejutan seperti apa yang akan di temui. Layaknya sebuah warna hitam dan putih, ada abu-abu yang hadir samar diantara kedua pekat tersebut. Penggambaran bahwa hidup tidak hanya memberi perjalanan dan pelajaran, namun juga ada teka-teki yang seringkali banyak orang tidak paham, atau mungkin belum.
Contoh kecilnya adalah dua manusia yang sedang mengangguk seraya tersenyum kala makanan pesanan mereka akhirnya tiba setelah menunggu kurang lebih seperempat jam lamanya. Sepasang anak adam dan hawa yang dipertemukan oleh takdir, siapa yang menyangka pertemuan jam dua dini hari dengan masing-masing pundak yang membawa beban kala itu ternyata membawa mereka pada perkenalan hingga saat ini.
Takdir sudah pasti memuat perjalanan dan pelajaran, namun perihal kejutan, hanya waktu yang bisa memecahkan teka-teki yang sampai saat ini masih menjadi tanda tanya semesta.
“Gak usah bingung, makan aja. Gak di kasih racun kok.” Seru Reksa melihat Hazel yang menelaah dirinya. Menebak apakah ada hal penting yang telah terjadi di hidup lelaki itu hingga ia sampai perlu mentraktirnya makanan mahal.
“Lo lagi ulang tahun, kan?” Tanyanya masih menebak-nebak dengan tatapan penuh curiga.
Reksa terkekeh, “Nggak, Hazel. Ulang tahun gue masih lama. Ini permintaan Kakak gue yang ngasih duit lebih untuk jajanin lo makanan enak.”
“Ya tapi dalam rangka apaan? Gue aja gak kenal sama Kakak lo.”
“Dalam rangka lo udah ngasih gue tempat tinggal. Karena lo gak ngebiarin gue buat tidur dipinggiran toko dan berujung masuk angin. Karena lo udah ngasih gue rumah buat istirahat dengan nyenyak disaat rumah utama gue berisik.”
“Thank you.” Ucapnya mulai memegang sendok dan garpu untuk makan.
“Harusnya gue yang bilang makasih. Padahal gue dan lo adalah orang lain. Tapi justru lo lebih peduli sama gue ketimbang orangtua gue dirumah. Harusnya, gue bisa traktir lo makanan yang lebih mahal daripada ini. Thank you, Hazel.”
“Ini udah cukup kok. Gue juga gak pernah makan makanan semahal ini, sayang duitnya. Ini pertama kali buat gue. Next time, gantian biar lo yang gue ajakin ke tempat makan enak. Tapi gue taunya cuma tempat yang murah, tapi enak kok suer. Dulu waktu gue masih kuliah kayak lo gini, nemu tempat makan yang enak tapi murah itu kayak nemu rumah baru juga. Kapan-kapan gue ajak lo deh. Anyways, thank you udah ngajakin gue kesini, jadi bisa ngerasain makanan enaknya orang kaya nih gue.” Jawab Hazel diakhiri dengan kekehan gurau.
Reksa tertawa mendengar celotehan wanita dihadapannya, “Kalau gitu, sih, kita berdua bisa lomba nunjukin tempat makan enak dan murah mana yang paling nampol. As you said before, Zel. We are same.”
Makan malam kala itu dihabiskan dengan obrolan panjang tentang nama-nama warung makan yang dimaksud. Menyebutkan nama jalannya, tempatnya buka setiap hari apa saja dan jam berapa tutupnya, juga membicarakan kebiasaan penjual mulai dari yang mukanya selalu masam bawaan lahir sampai penjual yang selalu senang mengajak berbicara.
“Setelah ini, lo mau ngapain?” Tanya Reksa mendadak berubah menjadi sedikit lebih serius.
“Setelah nikah?” Reksa mengangguk. “Rencana gue mau lihat Mama bahagia karena gue akhirnya bisa ngewujudin harapannya sekaligus harapan gue. Mau langsung program hamil, melayani suami, terus punya anak, jadi seorang ibu rumah tangga. Pengen tetep kerja juga, tapi bonding sama anak gue tetep nomor satu. You know what I mean, yang kejadian di gue sewaktu kecil gak mau gue ulang ke anak gue.”
“Ini doa lo dari lama ya? Butuh waktu berapa lama biar doa lo ini terwujud, Zel?”
Hazel mengangguk, “Ini doa gue dari dulu. Gue juga gak inget kapan pertama kalinya gue berdoa perihal jodoh. Yang pasti adalah, titik terendah gue tentang hal ini terjadi di jam dua pagi saat kita ketemu waktu itu.” Hazel menghela nafasnya, “Titik dimana waktu itu Mama gue yang lagi sakit minta gue untuk segera menikah, dilain sisi gue juga sadar kalau pacar gue saat itu gak akan mungkin bisa nikahin gue. Yang ada dipikiran gue saat itu cuma satu; gimana kalau Mama gue dipanggil duluan sebelum gue sempat wujudin permintaannya.”
“Tapi akhirnya lo sampai sini, kan, Zel. Perjalanan panjang ngebawa lo bisa sampai di titik ini. Are you happy?”
Hazel mengangguk, “Yes, I am. Ini jawaban atas kegilaan yang gue rasain malam itu.”
“You deserved.”
Sampai dititik ini, warna abu masih senang mengiringi perjalanan keduanya. Mengesampingkan segala hitam dan putih untuk beristirahat sejenak sebelum esok bergantian menjalankan tugasnya dalam kehidupan.