Malam sudah tertelan habis seperempatnya. Hujan yang belakangan ini sedang gemar membasahi bumi baru saja berhenti, menciptakan bau tenang berkat tanah yang total basah. Menyisakan hening dan bunyi jangkrik yang seakan baru akan memulai kegiatannya. Biasanya, di jam segini, Gyantara sedang sibuk memeluk erat wanitanya yang terlelap agar keduanya bisa tidur berdekatan dengan tenang. Ansika yang terlalu banyak gerak kala pulas memang layak di dekap erat, hitung-hitung sebagai waktu intim bagi keduanya agar lebih mendamba satu sama lain.
Namun malam ini akan sedikit berbeda. Mata keduanya masih jernih terjaga tepat saat jarum jam menunjukkan pukul dua dini hari. Walaupun keduanya berada pada posisi santai dengan berbaring menghadap satu sama lain, namun sesuatu yang menjadi topik pembicaraan bukanlah hal yang bisa diterima dengan perasaan sama yang santainya.
Ini pembahasan yang berat, setidaknya begitu bagi Ansika.
Rasanya tak selalu membutuhkan pengetahuan serta wawasan luas agar sebuah pembahasan layak dikategorikan berat, sebab pembahasan kali ini akan melibatkan banyak perasaan diatas segala logika yang diwaraskan.
Sosok perempuan yang belakangan ini mengusik pikiran dan ketenangannya, yang entah datang darimana membawa segala tujuan yang tidak tahu apa. Benar, Ansika marah. Benar, Ansika cemburu. Benar, Ansika sakit hati. Benar, Ansika merasa terancam. Benar, Ansika ingin menjadi satu-satunya. Namun gawat, Ansika tidak tahu apa-apa.
“Namanya, Sekar Ayu.”
Nama yang tak bisa dielakkan keindahannya itu menjadi awal mula segala kenangan baik buruk antara si pemilik nama dan Gyantara akan dibuka. Bermodalkan telinga yang dikuatkan untuk tetap mendengar dengan tenang, hati yang dikuatkan untuk tetap memahami dengan lapang, juga mulut yang dikuatkan untuk tidak mencela segala cerita yang akan Gyantara haturkan.
Ansika, tenang, persiapkan dirimu.
Ansika, tenang, Sekar cuma orang di masa lalu.
Ansika, tenang, Gyantara sudah menjadi milikmu.
***
Sekar, putus asa, dan ketakutannya.
Aku segera berlari ke arah suara yang memekik dengan lantang. Tak peduli lagi dengan sign yang berfungsi memisahkan ruang antara wanita dan pria, aku nekat berlari menemui histeris yang menggema.
“ASTAGFIRULLAH!! TOLONG YA ALLAH!! INNALILLAHI!!” pekik Mbak Aina yang aku yakini sedang ingin menjalankan tugasnya menjadi Office Girl yang baru ia jalani selama setahun ini terkejut dengan penemuannya di balik bilik kamar mandi.
Sama halnya dengan Mbak Aina, aku terkejut bukan main mendapati seorang mahasiswa semester akhir sedang melakukan percobaan bunuh diri. Aku tahu betul sebab puluhan butir obat berserakan mengisi ruang kosong di sekitar tubuhnya, juga menjadi bukti penyebab mengapa mulut wanita itu berbusa hebat.
Aku sempat terpaku sesaat efek kejut yang menjalar, memberhentikan fungsi otak sampai akhirnya Mbak Aina kembali histeris seraya menepuk pundakku untuk segera membawa wanita itu ke Rumah Sakit.
Aku menggendong wanita itu dengan rasa panik menyelimuti. Keringat dingin sudah bercucuran di keningku sebesar biji jagung. Di luar bilik ternyata sudah ramai dengan kumpulan manusia-manusia penasaran yang melongok dan menjadikanku pusat perhatian, tak lupa dengan ponsel terangkat yang mereka arahkan padaku dan gadis dalam gendonganku.
Dalam langkah terburu-buruku, aku masih sempat mendengar beberapa dugaan-dugaan minim simpati yang keluar dari manusia-manusia haus makian.
“Stress karena biaya kuliah mahal kali tuh.”
“Anak semester akhir tuh, pasti frustasi ngerjain skripsi.”
“Hamil kali tuh, cowoknya gak mau tanggung jawab.”
“Anak bimbingannya Sir Gyan tuh, pantes bunuh diri.”
“Dimintain syarat ngewe kali biar skripsinya di ACC.”
“Masukin base kampus biar pada heboh.”
Jikalau boleh berlaku dosa, ingin sekali rasanya kusumpahi mereka agar hidupnya merasakan sulit berkepanjangan hingga ajal datang menjemput. Kalau perlu, ketika mereka meninggal tidak ada satupun yang peduli, menangis, apalagi memberikan doa baik. Tidak pernah ku temukan manusia berucap setega itu di tengah duka, bersembunyi di balik kepala manusia lain agar sosok buruknya tidak terlihat. Sampah. Akupun gondok bukan main hingga mempertanyakan kredibilitas kampus milik orang tuaku sendiri sebab menampung mahasiswa setara kotoran dengan adab minim seperti itu.
Namun tak ada waktu, keselamatan wanita ini adalah yang paling utama saat ini. Wanita yang sangat aku kenal sebab baru beberapa jam yang lalu ia melakukan bimbingan skripsi denganku.
Sekar Ayu, namanya.
***
“Jadi kamu orang kedua yang nemuin dia dan bawa dia ke Rumah Sakit, Mas?”
“Iya, Sayang. Saat itu Mas cuma mikirin keselamatan Sekar yang overdose. Mas bawa dia pakai mobil Mas, Mas sendiri yang nyetir dan bawa dia ke Rumah Sakit terdekat.”
“Terus orangtuanya pas tau anaknya kayak gitu gimana, Mas?”
“Sesampainya di Rumah Sakit, Mas baru ngehubungin nomor Mamanya yang ternyata hal tersebut adalah sebuah kesalahan fatal, Sayang.”
“Kesalahan fatal gimana, Mas?” tanya Ansika dengan sangat serius menanti kelanjutan cerita.
***
“Harusnya kamu biarkan saja dia mati!” ucap wanita paruh baya itu padaku. Tangannya menunjuk tak sopan, memarahiku karena sudah menyelamatkan hidup putrinya. Sumpah serapah dilontarkan padaku tanpa mau sedikit saja berterima kasih.
“Sekar itu anak Ibu, ‘kan? Kenapa tega sekali bicara seperti itu, Bu?”
“Dia itu beban hidup saya! Anak pembangkang, berandalan, dan tak tau di untung! Harusnya kamu biarkan saja dia mati, saya gak sudi punya beban hidup seperti dia! Dia itu gak lebih dari investasi gagal yang saya besarkan!”
Beban hidup dan investasi gagal, katanya. Entah hal apa yang dialami wanita tua ini hingga tega berkata sedemikian menyakitkan tentang anaknya yang sedang mengalami masa kritis. Aku sempat berfikir bahwa pantas saja sang anak melakukan hal nekat seperti itu, ternyata surga yang melahirkannya ke dunia ini tak layak disebut sedemikian rupa.
“Saya gak akan mau mengurus anak menyusahkan itu lagi. Kamu yang sudah membawanya kesini yang harus bertanggung jawab atas hidup dia selanjutnya. Jangan hubungi saya lagi, saya tidak mau punya anak seperti dia! Hanya kabari saya jika anak itu sudah mati oleh tangannya sendiri.” pekiknya padaku dengan jari menunjuk tepat pada wajahku sebelum akhirnya ia melangkah pergi.
Sialan.
Kalau sudah begini, apakah durhaka hanya pantas disandang oleh seorang anak yang tak berbakti? Kalau iya, lalu orangtua yang seperti ini disebut dengan apa?
Nyatanya ucapan sejahat itu bisa keluar dari mulut seorang Ibu, sosok mulia yang menjadi tempat pintu surga berada. Ini terdengar lebih menyakitkan dibanding omongan mahasiswa yang berkerumun tadi. Kalau boleh aku tarik harapku, aku ingin manusia-manusia seperti itu diberi ketentraman jiwa agar sesak tak memenuhi rongga kepala mereka hingga terbiasa berlaku dosa.
Waktu berjalan sangat lambat manakala aku hanya bisa menatap dari balik penyekat kaca pada wanita yang terbaring lemah di dalam sana. Hatiku bergetar kala otakku memutar pertemuanku pada gadis itu terakhir kali sebelum ia menenggak puluhan obat.
Sekar Ayu, namanya.
Salah satu mahasiswa bimbinganku yang pandai mengerjakan, menerima dan memahami masukan dariku perihal tugas akhirnya. Gadis itu selalu bersemangat dan rajin menghubungiku untuk melakukan bimbingan. Agar cepat lulus, katanya. Ia selalu datang dengan segala macam revisi yang sudah di perbaiki, sembari ia sesekali menyelipkan cerita bahwa ia senang dengan jurusan yang ia ambil. Tak ku sangka dirinya memiliki banyak luka di hatinya.
Aku yakin wanita itu memiliki harapan yang luas perihal hidup dan masa depannya. Terlalu dini sebenarnya mengucapkan hal ini, namun aku ingin membantunya untuk tetap hidup dan memanjangkan umur pada harapannya.
“Maaf, Pak. Apakah anda wali dari pasien atas nama Sekar Ayu?” tanya seorang wanita berbaju seragam putih yang aku yakini merupakan suster yang merawat Sekar.
“Ah, iya, Sus. Benar, saya wali pasien Sekar Ayu.”
Baiklah, Bu. Biar saya yang bertanggung jawab atas hidup anak anda. Dia layak hidup lebih lama, dia bukan beban hidup dan dia lahir bukan sebagai investasi masa depan anda.
Ah, iya.
Benar.
Terlalu dini untuk membuat keputusan ini. Namun sakit pasti lalai datang pada sebuah kebaikan, bukan?
***
“Jadi semenjak saat itu kamu mutusin buat jadi wali Sekar, Mas?” Gyantara mengangguk, sesuai dengan ceritanya.
“Mas cuma mau tanggung jawab dengan ucapan dan keputusan Mas saat itu. Semua Mas lakukan atas dasar kemanusiaan, lagipula kalau bukan Mas yang ada disitu, siapa lagi? Gak ada, Sayang.”
Ansika mulai mengerti sekarang. Ia mulai mengerti bagaimana tanggung jawab menjadi landasan Gyan dalam membantu Sekar. Ia mengingat bagaimana Gyantara berlaku sangat baik dan lembut padanya ketika meminta sesuatu, lelaki ini memang memiliki jiwa yang besar. Kemudian ucapan Juan yang mengatakan bahwa hati Gyantara hanya untuk dirinya menjadi sebuah penenang untuk mendengar cerita ini lebih lanjut.
“Setelah Sekar sadar, hubungan kamu dan dia gimana, Mas?” tanya Ansika dengan keteguhan bahwa hati Gyan hanyalah untuk dirinya seorang.
“Sekar selalu keras dengan dirinya sendiri, Sayang. Dia selalu simpan semuanya sendiri, dia hidup di bawah bayang-bayang rasa takut. Jadi Mas mengusahakan rasa percaya diantara Mas dan Sekar supaya dia bisa lebih terbuka untuk cerita.”
Ansika meneguk ludahnya sendiri, “Caranya gimana, Mas?”
***
Sejak saat itu, hubunganku dengan Sekar menjadi lebih dekat. Hubungan yang tadinya hanya sebatas dosen dan mahasiswa, sekarang menjadi hubungan pertemanan. Awalnya yang hanya bertukar pesan untuk membuat janji perihal bimbingan skripsi, sekarang menjadi rutinitas membahas apa yang terjadi pada keseharian Sekar. Yang semula hanya bertemu di kampus, kini sudah mulai bertemu di banyak tempat lain.
Ya, aku dan Sekar memutuskan untuk mengubah status menjadi sebuah hubungan pertemanan. Mulanya aku yang mengusulkan dia untuk memanggilku dengan sebutan nama saja tanpa embel-embel Sir di depannya. Supaya apa? Supaya aku bisa lebih mudah untuk membangun kepercayaan Sekar terhadap diriku. Kalau dengan teman sendiri pasti akan lebih mudah dan bebas untuk bercerita apapun, pikirku begitu.
“Gapapa ya panggilnya gak pakai Sir? Nanti kamu marah gak?”
Gapapa, Sekar. Gak akan marah.
Entah hal seperti apa saja yang sudah ia lalui selama hidup di dunia ini, namun aku dapat melihat dengan jelas bahwa perasaan takut menjadi bayangan terbesar dalam dirinya.
Masih terekam jelas di ingatanku saat pertama kali aku dan dirinya akan bertemu di sebuah restoran. Berkali-kali dia mengirimiku pesan dengan isi yang sama.
“Gapapa ya kita ketemunya di luar kampus? Nanti kamu marah gak?”
Gapapa, Sekar. Gak akan marah.
Kemudian hal lainnya adalah ketika aku menunggunya sekian menit hanya untuk menulis menu makanan yang akan ia pilih. Netranya hanya membaca buku menu tanpa ada tanda-tanda bibirnya akan mengeluarkan pilihan.
“Punyaku di samain aja kayak kamu.”
“Pilih, Sekar. Kamu maunya makan apa? Pilih.”
Dirinya kembali melihat ke buku menu dengan telunjuk yang menunjuk baris kata diikuti arah matanya. Tak lama ia melihat ke arahku kembali dengan tatapan seakan aku akan memarahinya jika ia menyampaikan pilihannya.
“Gapapa ya aku pilih sendiri? Nanti kamu marah gak?”
Gapapa, Sekar. Gak akan marah.
Pernah pula saat aku melihat dirinya yang gelisah dikala menunggu bus untuk pulang. Matanya mengedar jauh dengan ibu jari yang saling mengait seakan sedang dihadapkan dengan pilihan besar.
“Kamu kenapa?” tanyaku tapi dijawab dengan gelengan. “Kamu boleh cerita sama aku, aku bakal dengerin. Kenapa, Sekar?” tanyaku lagi.
“Gapapa ya aku cerita ke kamu? Kamu gak marah karena waktunya jadi terbuang dengerin aku cerita?”
Gapapa, Sekar. Gak akan marah.
Sesederhana itu namun ia tidak punya keberanian untuk mengatakannya. Perlu waktu yang lama dan panjang untuk mengajarkannya bahwa tak semua hal perlu ia takuti. Hingga pada akhirnya Sekar mulai terbiasa dengan adanya aku yang selalu mengizinkannya untuk melakukan apapun tanpa takut untuk kena marah.
Pada akhirnya usahaku untuk membuatnya menjadi individu yang lebih terbuka berhasil. Dengan perlahan ia selalu meminta izin untuk bercerita perihal sesuatu yang mengganggu pikirannya. Hingga pada akhirnya ia menceritakan segalanya kepadaku, menjadikanku tempat bersandar dan berkeluh kesah.
Sekar telah mempercayaiku, ia menjadikanku gudang yang menyimpan segala rahasia dan luka pada hatinya.
Sekar penuh dengan rasa takut.
***
Ansika menahan sesak bukan main dalam hatinya. Rasa cemburu menggerogoti relung hatinya hingga jatuh dalam kobar api yang menyala.
Sebegitu lembutkah Gyan memperlakukan Sekar?
Tak dipungkiri Ansika mengucap selamat karena Sekar sudah lebih dulu merasakan betapa lembutnya perlakuan Gyantara. Pantas saja wanita itu sulit melepaskan Gyan, ternyata kenangan baik diantara keduanya mampu menenggelamkan dirinya saat ini.
“Kalian berdua sempet pacaran, Mas?”
Gyantara tersenyum dan menarik Ansika untuk mendekat ke sisinya. “Menurut Ansika gimana, Sayang?” tanyanya dengan senyum jahil. Sempat-sempatnya bercanda di tengah mendidihnya hati Ansika saat ini.
Ansika menekuk bibirnya, enggan menjawab karena masih belum mampu mendengar fakta yang ada.
“Ansika cemburu?” tanya Gyan kini berubah serius hingga membuat sang istri menyembunyikan wajah pada ceruk lehernya. Gyantara mengusap punggung Ansika dan mengecup puncak kepalanya. “Mas gak pernah pacaran sama Sekar, Sayang. Mas sama dia cuma teman, gak pernah lebih dari itu.”
“But she kissed you under the rain. It’s so romantic.”
“Ya, but I rejected her. Mas gak balas ciuman dia karena Mas kepikiran kamu yang lagi nunggu di hotel sendirian waktu itu.”
“Tapi waktu itu kamu belum suka sama aku, Mas. Mana mungkin kamu kepikiran aku yang nunggu di hotel sendirian padahal lagi ada cewek lain yang lagi cium kamu saat itu.”
“I don’t know, but I mean it. Mas cuma kebayang wajahnya Ansika, rasanya pengen cepet nemuin kamu dan cium kamu saat itu juga.”
Ansika mendongak, menatap keseriusan yang terpancar dari wajah suaminya. “Kenapa Mas mikirnya gitu?”
“Mas ngerasa bibirnya Mas itu punya kamu, calon istri Mas saat itu.”
Ansika mengulas senyum, matanya kembali berbinar. “Beneran?” Gyantara mengangguk. Kemudian ia majukan bibirnya syarat meminta kecupan pada sang suami, dan Gyantara memberikannya dengan senang hati. Dikecupnya bibir wanitanya berkali-kali hingga keduanya terkekeh dengan sendirinya.
“Tapi, Mas…”
“Kenapa, Sayangku?”
“Kata Sekar, kamu pernah mau nikahin dia. Bener?”
Gyantara menengadah menatap langit-langit kamarnya, kemudian membuang nafasnya kasar. “Ansika mau dengerin yang ini juga, Sayang?”
“Terlalu menyakitkan ya, Mas?”
***
Malam itu merupakan malam yang meriah dan menyenangkan khususnya bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya. Bhatuture yang merupakan acara hiburan rutin untuk warga Fakultas Ilmu Budaya tiap semester sedang digelar pada malam itu. Panitia, pengisi dan penikmat acara tak lain dan tak bukan adalah seluruh mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya, sementara penanggung jawabnya kala itu adalah aku dan Juan.
Tak disangka-sangka, beberapa jam sebelum acara dimulai turunlah hujan. Membuat panitia dan aku sebagai penanggung jawab menjadi kalang kabut sebab persiapan acara kala itu digelar secara outdoor. Sound system terkena air, pemasangan dekorasi yang berantakan tertiup angin, hingga kabel yang konslet membuat acara mau tidak mau tertunda beberapa waktu.
Empat puluh lima menit waktu berlalu dan para mahasiswa yang datang sebagai penikmat acara mulai bosan menunggu. Aku yang kala itu juga masuk dalam list pengisi acara pun harus pandai mengatasi waktu dan pikiranku, jujur itu sangat sulit di tengah kondisi yang tidak kondusif seperti ini.
Kepanikan ku sedikit berkurang manakala sound system sudah bisa kembali digunakan walaupun sesekali kembali mati ditengah lagu yang sedang dimainkan. Sorakan kecewa pun terdengar lantang acapkali gangguan teknis muncul. Kemudian tak beberapa lama sorakan kecewa tersebut berubah menjadi sorak sorai manakala pembawa acara menyebutkan namaku sebagai penampil berikutnya.
Lega dan gugup sontak menyerang perasaanku. Lega karena akhirnya acara ini bisa kembali membawa hiburan, namun gugup karena aku harus tampil di depan mahasiswaku sebentar lagi. Dari belakang panggung aku mendengar bahwa pembawa acara kembali memanggil namaku untuk segera naik ke atas panggung. Namaku pun di soraikan dengan begitu meriahnya, membuncahkan semangat yang tadi sempat merosot. Namun beriringan dengan itu, ponselku berbunyi sama ributnya menunjukkan panggilan masuk yang sudah entah keberapa kali. Ratusan pesan masuk pun tampil di layar notifikasiku dengan nama pengirim “Sekar”.
Drrttt
“SIRRR GYAAAAN!!”
Drrttt
“SIR GYAN! SIR GYAN! SIR GYAN!”
Jiwaku bergejolak saat itu. Bingung harus melakukan apa aku saat itu. Naik keatas panggung dan mengabaikan telepon serta ratusan pesan masuk dari Sekar, atau pergi meninggalkan acara tersebut dan datang menghampiri Sekar.
Bingung.
Tanganku gemetar.
Drrrtttt
“SIR GYAN! LET’S BURN THE STAGE!”
Drrrtttttt
“SIR GYAN! SIR GYAN! SIR GYAN!”
Drrrrttttttttt
Mic dalam genggamanku jatuh begitu saja.
Setelah perdebatan batin akhirnya aku menjatuhkan satu pilihan. Aku memutuskan untuk meninggalkan acara dan ratusan mahasiswa yang dengan semangat menyorakkan namaku. Aku berlari menuju dimana mobilku terparkir. Aku memutuskan untuk menghampiri Sekar. Aku memilih Sekar yang benar-benar membutuhkan pertolonganku saat itu. Aku dengan yakin memilih Sekar manakala netraku membaca salah satu pesan darinya:
Agy… tolpng sku, Mama jual aky ke lski-laki hidungh belanf. Akq takut, Agy tplong… Aku kabyr, aju tqkut mwreka ngrjar sku Agy…
Hatiku terhenyak, retak tak karuan. Aku membuatnya sembuh, namun manusia yang melahirkannya justru berkali-kali mendorongnya masuk ke dalam jurang kehidupan.
Hancur. Hancur sekali rasanya.
Dengan segala upayaku membuatnya sembuh, ku peluk dirinya yang menangis ketakutan. Tubuhnya gemetar dengan segala takut yang selalu penuh mengisinya. Ku bawanya ke tempat paling aman, ku temani dirinya yang selalu menangis sendirian, ku genggam tangannya agar tau bahwa aku selalu ada bersamanya.
Sekar, jadi kamu tidak pernah menyenangkan ya?
Sekar, luka tidak pernah sederhana untuk dirimu ya?
Sekar, cukup terluka sendiriannya ya?
“Sekar, nikah sama aku mau ya?” tanyaku ketika Sekar sudah mulai bisa bernafas lebih tenang.
Dengan mata sembabnya ia menatap ke arahku. Tatapan nanar yang membuatku selalu ingin melindungi rapuh dirinya. Namun dirinya menggeleng entah kenapa.
“Kenapa? Ayo nikah sama aku biar Mama kamu gak jahat lagi.” bujukku sekali lagi padanya.
Sekar mengulas senyum paling menyedihkan yang penah aku lihat. Lagi-lagi kepalanya menggeleng. “Jangan, Gy.” jawabnya kemudian menatap lurus ke depan. “Jangan bawa badai di hidupmu yang tenang, Gy.”
“Mama kamu gak akan pernah berhenti kalau kayak gini terus. Rotasi hidupnya cuma uang dan aku punya itu untuk bungkam kelakuan jahatnya, Sekar.”
“Justru itu, Gy. Justru karena kamu punya apa yang Mama aku mau, aku gak mau jadi badai di hidup kamu.”
“Kenapa? Kamu gak capek sedih sendirian? Ayo bagi dua sama aku.”
“Thank you, Agy. Aku sayang sama kamu but you deserve better. Temenin aku kayak gini aja, itu udah lebih dari cukup buat aku.”
“Kamu yakin?”
Sekar mengangguk yakin. “Kayak gini terus ya, Gy.” ucapnya kubalas dengan senyum miris.
***
Ansika diam-diam mengusap air matanya. Dirinya menangis karena terbawa suasana. Ia membayangkan betapa sulit hidup yang Sekar jalani. Ia pun kini mengerti mengapa Gyan membantu sebegitunya.
Benar, Sekar hanya punya Gyan dan dirinya sendiri.
“Are you crying, Sayang?”
Ansika menggeleng membohongi fakta yang sudah jelas ketara. “Terimakasih, Mas.”
“Terimakasih buat apa, Sayang?”
“Terimakasih udah bantu Sekar untuk bertahan lebih lama.”
Gyantara merasa haru dengan ucapan istrinya. Baru kali ini ada seseorang yang berterima kasih atas usahanya menolong Sekar. Selama ini ia hanya mendengar hujatan dan caci maki dari orang-orang. Namun Ansika hadir membawa secercah cahaya yang masuk ke relung hatinya. Ansika mau memahami posisi dirinya. Ansika juga memahami bagaimana kondisi Sekar. Ansika Charushella, pendamping yang tepat untuk seorang Gyantara Bhalendra.
“Mas?”
“Iya, Sayang?”
“Are you happy?” tanyanya menatap dalam ke manik Gyantara. Pertanyaan tulus yang Ansika lontarkan sebab sudah tau bagaimana kacau yang suaminya itu alami.
“I’m glad that you’re my soulmate, Ansika.”
“Mas seneng nikah sama aku?”
“Seneng, Sayang. Seneeeeeng banget. Ansika segalanya buat Mas.”
“Aku ada disini, Mas. Aku janji selalu ada disamping kamu no matter how hard storms hit us. Aku bakal disini terus, nemenin kamu. Sampai kapanpun, selamanya.”
Gyantara mendekap tubuh Ansika dengan erat. Menyalurkan ucapan terimakasih dan syukur dalam dekapan hangatnya. “Terima kasih, Ansika. Terima kasih, Sayangnya Mas.”
“Jangan pernah merasa kurang udah jadi suami aku ya, Mas. Kamu cukup dan aku beruntung.”